Jumat, 01 Oktober 2010

Hujan


…dikejar hujan
Tanah merah, kering berdebu, sebelah kanan-kiri hanya lubang-lubang raksasa berukuran  persegi , sisa-sisa galian tanah untuk pembuatan bendungan irigasi. Irigasi puluhan kilo meter, dengan tinggi 3-4 meter. Pelan-pelan bayangan tertutup awan gelap diujung ladang lubang.

Saya berlari, awan itu seiring mengikuti, dan pelan-pelan membasahi jalanan dibelakang saya. Sampai saya mengayuh kencang sepda saya digubuk pembuatan bata merah, hujan benar-benar tumpah. Saya duduk dijerami hasil tumpukan pak tani.


Mendengarkan pembicaraan yang tidak saya mengerti dari  beberapa orang yang juga berteduh diujung saya. Kecemasan menghimpun ketika Kilat-kilat terlihat jelas dan sejauh mata memandang hanya dataran lubang-lubang raksasa disekitar gubuk bata merah. Disusul petir saling bergelegar. Cemas yang tak sanggup saya gambarkan, ketika panas dingin ketakutan biasa disusul dengan keringat, sekarang hanya menyungsap menahan dingin angin yang membawa butir-butir air lembut, namun kejam.

Langit masih ditumpuki awan-awan gelap, aku diam menontoni air hujan ditepian kayu penopang gubuk bata. Air yang datang ditemani geledek-geledek besar , seperti terusir dari peraduan, ditumpahkan, untuk mencari tempat yang lain, dengan menjadi pejalan jauh. Menetes berkejaran disela-sela atap, jatuh di kayu-kayu,langsung memeluk tanah dan meresapinya, namun ketika  tak tempat tak tersedia, dia mengalir. Mengetuk dinding-dinding batu dan kerikil, melewatinya, sampai menemukan ….tempat terbaiknya.

tik..tik..tik..bunyi hujan diatas genting,
Airnya turun tidak terkira….
Ranting dan daun basah semua…

Nyanyian itu memecah, mataku mencari suara kecil itu. Geledek pergi pelan-pelan bersama awan kelam. Hujan turun mulai perlahan, pelan…dia suara kecil itu sudah berlari, menari, tak peduli dingin, dan air hujan lewat tanpa dirasanya.

CRASS!!!
Dia menjerit. Cahaya mirip akar tegak berdiri diatas tanah.
Saya menutup mata. Kilat itu masih bersisa. Untuk menikmati hujan kadang memang harus beresiko.
Saya melihat keatas, dibalik sisa-sisa pohon entah berapa kilometer dari tempat saya memandang melewati lubang-lubang raksasa, yang diambil tanahnya. Mendung bergeser. Pelan.
Udara tiba-tiba menusuk, dengan pernyataan yang muncul bagai lompatan kilat, menyambarku.
“Dunia ini, tempat ini, bukan tempatku selamanya…”
Saya tidak bisa mengira-ngira tempat bagaimana yang akan saya tempati nanti, dan seluruh orang-orang didunia ini ketika satu persatu menghilang. Tenang. Bagaimanapun akan terlihat tenang. Karena tak bergerak.
“ayo bali, wes terang ki”
Satu persatu kami pergi..
Saya…
Menggandeng sepeda…pulang….

4 komentar:

pak tani dan sang sapi mengatakan...

wah ada kata-kata pak taninya...
hehehehehe
berkunjung sejenak...

TS Frima mengatakan...

kadang saya kadang aku ya :)

bandit™perantau mengatakan...

hati2 di jalan... :)


Saya sedang merindukan "hujan"... :)

affanibnu mengatakan...

saya juga sedang merindukan hujan :)

 

Blog Template by YummyLolly.com