Rabu, 29 Desember 2010

seperti lama aku tidur

...ketika kubangun langit menangis
pecah termiliki kelabu...

...padahal telah lama aku menginginkan melihat langit,
seperti tawanan yang hanya melihat atap langi-langit...
Jumat, 01 Oktober 2010

Hujan


…dikejar hujan
Tanah merah, kering berdebu, sebelah kanan-kiri hanya lubang-lubang raksasa berukuran  persegi , sisa-sisa galian tanah untuk pembuatan bendungan irigasi. Irigasi puluhan kilo meter, dengan tinggi 3-4 meter. Pelan-pelan bayangan tertutup awan gelap diujung ladang lubang.

Saya berlari, awan itu seiring mengikuti, dan pelan-pelan membasahi jalanan dibelakang saya. Sampai saya mengayuh kencang sepda saya digubuk pembuatan bata merah, hujan benar-benar tumpah. Saya duduk dijerami hasil tumpukan pak tani.


Mendengarkan pembicaraan yang tidak saya mengerti dari  beberapa orang yang juga berteduh diujung saya. Kecemasan menghimpun ketika Kilat-kilat terlihat jelas dan sejauh mata memandang hanya dataran lubang-lubang raksasa disekitar gubuk bata merah. Disusul petir saling bergelegar. Cemas yang tak sanggup saya gambarkan, ketika panas dingin ketakutan biasa disusul dengan keringat, sekarang hanya menyungsap menahan dingin angin yang membawa butir-butir air lembut, namun kejam.

Langit masih ditumpuki awan-awan gelap, aku diam menontoni air hujan ditepian kayu penopang gubuk bata. Air yang datang ditemani geledek-geledek besar , seperti terusir dari peraduan, ditumpahkan, untuk mencari tempat yang lain, dengan menjadi pejalan jauh. Menetes berkejaran disela-sela atap, jatuh di kayu-kayu,langsung memeluk tanah dan meresapinya, namun ketika  tak tempat tak tersedia, dia mengalir. Mengetuk dinding-dinding batu dan kerikil, melewatinya, sampai menemukan ….tempat terbaiknya.

tik..tik..tik..bunyi hujan diatas genting,
Airnya turun tidak terkira….
Ranting dan daun basah semua…

Nyanyian itu memecah, mataku mencari suara kecil itu. Geledek pergi pelan-pelan bersama awan kelam. Hujan turun mulai perlahan, pelan…dia suara kecil itu sudah berlari, menari, tak peduli dingin, dan air hujan lewat tanpa dirasanya.

CRASS!!!
Dia menjerit. Cahaya mirip akar tegak berdiri diatas tanah.
Saya menutup mata. Kilat itu masih bersisa. Untuk menikmati hujan kadang memang harus beresiko.
Saya melihat keatas, dibalik sisa-sisa pohon entah berapa kilometer dari tempat saya memandang melewati lubang-lubang raksasa, yang diambil tanahnya. Mendung bergeser. Pelan.
Udara tiba-tiba menusuk, dengan pernyataan yang muncul bagai lompatan kilat, menyambarku.
“Dunia ini, tempat ini, bukan tempatku selamanya…”
Saya tidak bisa mengira-ngira tempat bagaimana yang akan saya tempati nanti, dan seluruh orang-orang didunia ini ketika satu persatu menghilang. Tenang. Bagaimanapun akan terlihat tenang. Karena tak bergerak.
“ayo bali, wes terang ki”
Satu persatu kami pergi..
Saya…
Menggandeng sepeda…pulang….
Minggu, 04 Juli 2010

Aku, kamu, Hujan


#Aku

Disebuah hari, rintik yang mulai deras,  berlari kecil menutup kepala dengan kedua tangan. Mencari tempat yang aman agar rintik tak semakin menyeruak basah. Tiba diteras toko, tanganku masih mengelap bahu, merekatkan kedua tangan sambil menarik nafas dalam-dalam, sedikit menghangatkan.

“Orang-orang berjalan dengan kanopi, seandainya saja aku punya, aku bisa menikmati hujan yang terasa dekat tanpa basah…ahh tapi aku tidak bisa merekatkan tanganku seperti ini.“

Tampak dari sebelah berjejalan orang bergerombol menghindar dari rintik yang mulai deras. Celah apa yang akhirnya aku bisa melihatmu disisi hujan sejajarku…

Disini….
Disebuah hari aku menemukan kamu…

#Kamu

Menoleh, terdiam dengan, arah mata sayu. Perlahan mengembalikan tatapan dalam tirai birai hujan sore itu.

#Aku

Tatapannya dingin melebihi cuaca ini, bahkan tanganku yang merekat hangat dibahu tiba-tiba dingin.

Aku mencintai hujan, namun yang tidak terlalu dingin seperti ini, tapi bagaimana jika dia yang kucari?
Benar dia sesorang yang kucari, lelaki disebelah tirai hujan, lelaki yang masih diam walau dia sudah mengenal aku, entah apa, karena apa dia hanya menatapku tanpa menyapaku, selalu


Kenangan yang masih kurekatkan pada rinai-rinai hujan, kenangan yang masih kubawa hingga kemana awan mendung mulai berarak membawa semua rinai jauh dari tepi menuju musim yang panas.

Tiba-tiba dingin begitu kejam.

dari yang masih kurasakan, hatiku.

Rabu, 05 Mei 2010

senja itu senyummu


Diujung senja yang seharusnya orange itu
Diujung senja seharusnya itu
Diujung tepian ini
Pada titik ini
Pada Langkah yang benar-benar
ingin kumulai
aku tertahan
mematung dengan mata berderai
pahit

senja ini hujan
senja ini muram
senja ini
...
.
.
.

senyummu
berpindah
Minggu, 25 April 2010

Bulan

Hujan, ijinkan aku bercerita tentang bulan. Iya, saat kamu tidak hadir, saat itu aku bisa menatap bulan.  Dan ia bercahaya, aku terus menatapnya. ingin berbicara padanya, dan berbicara pada seorang yang menatap disana juga. Barangkali..
Aku tersenyum serasa berbicara pada bulan separuh wajah itu
”kau tau gadis siapa dia?”
“tentu tidak...Tuhan masih merahasiakannya untukku”
”lalu kau ingin siapa disana yang berharap menatapku”
”dulu pernah, sekarang entah...”
”kenapa?”
”aku ingin berpasrah...”
”lalu tentang hujan yang mengenangkan seorang”
”hujan akan selalu ada, begitupun kenangan tak mungkin ditiadakan, biarkan hujan membawa alirannya sendiri...”
”gadis, berharapkah kamu dengan seseorang”
”tidak lagi, berpasrah dan tawakal mungkin akan lebih menenangkan bulan..”

Rembulan, kau tak tampak pucat. Memejamkan satu mata dan kuangkat tanganku. Indahnya serasa menyentuh cahayamu.

”bulan adakah yang melakukan hal ini dibelahan bumi lain?”
”tentu...”
”oya?”
”iya dia berharap, melihat bulan yang sama agar merasa dekat dengan seorang”
”romansa, bulan?”
”tentu...gadis”
”semoga dia berbalas...”
”gadis jangan berderaikan air matamu disini”
”tentu bulan, aku akan masuk, menutup pintu, mematikan lampu, lalu tertidur, see u ...”
Rabu, 31 Maret 2010
Satu hari aku memandangi suatu tempat, yang sering kau ucapkan, yang sering kau kunjungi. Aku memandangimu, berlari, keujung karang, tempat kukaramkan harapanku tentangmu. Batasan biru air, awan, kau nikmati diatas karang dengan deru ombak menghantam dindingnya. Kau bertahan. Aku tahu hatimu masih berlabuh, pada desiran rindu yang kau simpan dalam.
Pandanganku masih melekat padamu. Menderu, berkejaran memeluk tepian. Berdesir lembut bahasa kalbu. Aku menunggu disini. Ditempat biru. Batasan bumi dan langit dalam satu tepian garis.

Masih kau rasakan birunya sampai perlahan warna kuning, merah, gelap meresap.
Aku ingin berlari, berteriak, menujumu:





”aku mohon dengarkan aku, aku ada untukmu, walau masih saja kau simpan rindu mengebu-gebu pada cinta misteriusmu, dengarkah kamu??”









Tolong dengarkan bahasa yang sulit kurangkai ini,





mengertilah...





Memejam, dan menghela gemuruh desiran nafasku yang tak teratur.

Aku tergerak diam. Bahasaku tinggal rasa.



Aku pergi tak ingin kau menemukanku disini dan bertanya ada apa?
aku tak ingin berdusta 
Apa saat ini?
Harus mengakhiri rasa yang mengendap, yang melahirkan bening diatas harapan.
Apa saat ini?
Harus kusudahi mimpi tanpa kisah.
Apa saat ini?
Aku berhenti dari yang aku rasa, padanya.

aku akan....
Selasa, 30 Maret 2010
Hujan,
kamu menemaniku disini, apa kau juga ada bersamanya,
jika iya, resapilah dia dengan rinduku padanya.
Hujan
Jika iya kamu bersamanya, teteskanlah lembut getar rasa dalam hati.
Dan Katakan padanya dengan bahasa terindah yang kau punya
aku selalu rasa padanya.
Senin, 29 Maret 2010

pic:here
untukmu
masih aku rasa
walau pilu nanti yang akan berkata
walau rasa menyesak dada
masih aku rasa
untukmu
Selasa, 23 Maret 2010

Rinai






Kau teteskan lagi harapan

Aku menengadah

Kesejukan menjelma

Menyempurna rasa

Mengirup tetesan menyemai

Aroma tanah basah


Aku bahagia
Minggu, 21 Maret 2010

Sedikit tentang cahaya


Dingin.
            Teringkuk dalam..
                                      Kosong. Padam. Gelap.


 Mengamit perih.
mengamati, 
mencari
Cahaya
    Tumpah, terbang, hilang
Habis terangku

Sabtu, 20 Maret 2010


Aku bukan air
Yang mampu mengikis sebuah batu dengan lembut
Aku bukan cahaya
Yang mampu memberikan sinar untuk melangkah
Aku bukan angin
Yang mampu memberi sejuk saat gersang
Aku bukan peneduh
Yang mampu memberikan keteduhan saat lelah
Aku bukan senja
Yang menjadi syair pujangga
Aku bukan matahari
Yang mengisi relung bumi
Aku bukan bulan
Yang kau rindukan
Aku bukan wanita istimewa
Aku biasa saja
pic:here
 

Blog Template by YummyLolly.com